Hidup ini busuk, jangan harap kau bisa lari dari segala tuntutan yang membebani hidupmu nanti Bukankah sejak kecil kau sudah dituntut? Dituntut untuk bangun pagi setiap hari, berangkat sekolah yang katanya sambil bermain walau usia masih bisa dihitung dengan jari. Kau tinggalkan kelereng, layang-layang, petak umpet, kartun pagi hari, demi tuntutan orang tua agar kau tak dicap ketinggalan. Kau harusnya masih bermain dengan tanah, memakannya atau setidaknya tubuhmu kotor, dekil dan menghitam. Kau mestinya sedang masa-masanya menikmati pukulan keras di pantat akibat keseringan mandi di kali, atau berburu salak, mangga, dan buah asem di kebon tetangga. Bukan malah menghadap buku dan pensil di sebuah tempat yang dinamakan sekolah. Menyerap berbagai macam teori a,b,c,d yang tak bisa diterima oleh otak. Lalu kapan kau bisa bermain? Bila setelah pulang sekolah kau dikurung di rumah, belum lagi ketika sore hari dipaksa untuk Les Membaca dan Menulis. Jangan tanya ketika malam, habi
Atap langit bercahaya, semua terlihat kosong. Udara dingin dan insomnia. Para tetangga kos yang ribut dan tak tau adat. Beberapa hari ini hatiku dongkol, bagaimana bisa mereka menjemur baju serta kolor di depan pintu kamarku? Mbok ya tata krama bertetangganya dipakai. Sopan nggak seperti itu? Sebenernya diajari kan di sekolah? Meskipun misalnya kalian nggak sekolah, tapi bisa berfikir kan? Logikanya tolong dipakai! Penghuni baru yang bangsat. Jemuran baju yang sudah kuciptakan sedemikian rupa juga diinvasi oleh mereka. Lantas aku harus menjemur dimana? Apa aku harus menegur mereka, "mbak jemurannya mau tak pakai, bisa dipindah bajunya?" Malas banget kalau disuruh senyum basa-basi tapi ujung-ujungnya memaki dalam hati. Atau nggak bikin saja di depan kamarmu sendiri, kalau nggak cukup kan masih ada hari esok? Kenapa sih terlalu terburu-buru dan berambisi? Toh semuanya bakal kering pada waktunya. Ambisimu itu loh, membuat orang lain rugi. Sampai-sampai punya orang lain juga kau