Langsung ke konten utama

Postingan

Entri yang Diunggulkan

Masa Depan

Hidup ini busuk, jangan harap kau bisa lari dari segala tuntutan yang membebani hidupmu nanti Bukankah sejak kecil kau sudah dituntut? Dituntut untuk bangun pagi setiap hari, berangkat sekolah yang katanya sambil bermain walau usia masih bisa dihitung dengan jari. Kau tinggalkan kelereng, layang-layang, petak umpet, kartun pagi hari, demi tuntutan orang tua agar kau tak dicap ketinggalan. Kau harusnya masih bermain dengan tanah, memakannya atau setidaknya tubuhmu kotor, dekil dan menghitam. Kau mestinya sedang masa-masanya menikmati pukulan keras di pantat akibat keseringan mandi di kali, atau berburu salak, mangga, dan buah asem di kebon tetangga. Bukan malah menghadap buku dan pensil di sebuah tempat yang dinamakan sekolah. Menyerap berbagai macam teori a,b,c,d yang tak bisa diterima oleh otak. Lalu kapan kau bisa bermain? Bila setelah pulang sekolah kau dikurung di rumah, belum lagi ketika sore hari dipaksa untuk Les Membaca dan Menulis. Jangan tanya ketika malam, habi
Postingan terbaru

Hari Pertama: PERIHAL JEMURAN

Atap langit bercahaya, semua terlihat kosong. Udara dingin dan insomnia. Para tetangga kos yang ribut dan tak tau adat. Beberapa hari ini hatiku dongkol, bagaimana bisa mereka menjemur baju serta kolor di depan pintu kamarku? Mbok ya tata krama bertetangganya dipakai. Sopan nggak seperti itu? Sebenernya diajari kan di sekolah? Meskipun misalnya kalian nggak sekolah, tapi bisa berfikir kan? Logikanya tolong dipakai! Penghuni baru yang bangsat. Jemuran baju yang sudah kuciptakan sedemikian rupa juga diinvasi oleh mereka. Lantas aku harus menjemur dimana? Apa aku harus menegur mereka, "mbak jemurannya mau tak pakai, bisa dipindah bajunya?" Malas banget kalau disuruh senyum basa-basi tapi ujung-ujungnya memaki dalam hati. Atau nggak bikin saja di depan kamarmu sendiri, kalau nggak cukup kan masih ada hari esok? Kenapa sih terlalu terburu-buru dan berambisi? Toh semuanya bakal kering pada waktunya. Ambisimu itu loh, membuat orang lain rugi. Sampai-sampai punya orang lain juga kau

Sumpah Pemuda: Sumpah atau Sampah?

Puisi kami tercipta dari darah yang sekian lama mendidih, menahan semua pilu yang terjadi di sepanjang mata kami. Juga luka-luka yang kian merajuk menggugat damai di tengah orang-orang yang tak peduli satu sama lain. Dunia nyata telah tergantikan dengan dunia maya yang menghipnotis mereka ke dalam gelembung-gelembung perpecahan yang kian menjadi. Antara jauh dan dekat kini menjadi mudah, namun menyesakkan. Kabut jelaga yang samar membuat kesadaran tak tersadarkan bahwa ia telah mencipta sekat antara satu dan lainnya. Semua terlihat baik-baik saja, namun nyatanya tak ada yang baik-baik saja. Mereka hanya bisa menunduk satu sama lain, menatap gadget masing-masing, bekerja dengan jari-jari laknatnya, menjadi sok idealis, lalu menghujat sana-sini dan mencap dirinya berilmu tinggi. Sumpah serapah, sistem yang bobrok, dan generasi yang cengeng. Media yang tak bermutu dan pendidikan yang tak bermoral. Puisi kami terlahir dari berjuta-juta benih masa depan yang kian hari kian lembek. Menggerut

Hakim, Aku Tak Pernah Lupa

Sudah berapa tahun sejak saat itu? Aku masih ingat dengan jelas raut wajahmu. Semua sudah banyak yang berubah, bahkan aku hampir saja melupakanmu. Gimana keadaan disana? Masihkah kau bercengkerama dengan mereka berdua? Ya sosok-sosok yang ditakuti semua orang. Kim, maaf aku sering kali lupa mengirimkanmu sebuah doa, bahkan untuk diriku sendiri saja juga lupa. Banyak yang telah kulalui. Aku jadi bertanya-tanya, jika saja kau masih disini, mungkinkah kau akan bahagia? Jadi apa kau sekarang ini? Apakah seorang yang berhasil ataukah sama saja jadi pecundang seperti dahulu? Kim, aku merindukanmu dan merindukan masa remaja kita. Entah mereka rindu atau tidak, itu bukan persoalan rumit bagiku. Kau adalah bagian teristimewa dalam kisah hidupku, segala susah senang sudah kita lalui bukan? Kau benar, jadi dewasa memang menyebalkan. Banyak hal sulit dan segala penderitaan bermunculan akhir-akhir ini. Ketakutan untuk melangkah, keresahan perihal penilaian orang lain dan kecemasan akan masa depan.

Januari Kedua

Pagi ini begitu cerah, meskipun rintik hujan turun beberapa tetes di bawah teriknya. Seharusnya bulan ini sudah musim hujan, tapi hujan nampaknya begitu pelit untuk menampakkan diri. Yah aku mensyukurinya. Hujan tidak hujan bukan masalah besar bagiku. Tidak ada yang berbeda dengan hari ini, sama seperti tahun lalu. Siklus bulanan yang menyerang, namun tidak ada kebohongan lagi untuk dia atau siapapun. Nampaknya aku sudah bisa bernafas lega, Karena apa? Yah karena aku bisa melewati hari ini dengan tenang, sama seperti hari biasa. Hanya menghabiskan waktu dengan diriku sendiri ditemani dengan debur ombak juga secangkir kopi. Barangkali ini adalah saat terakhirku disini untuk merayakan hari ketika aku turun ke bumi. Aku bukanlah lagi seseorang yang berharap diberi kejutan atau apalah-apalah seperti pada tahun-tahun berlalu. Aku sudah bahagia, bisa diizinkan menghirup oksigen di bumi, melihat ibu bapakku tersenyum bangga, juga teman-temanku sehat dan bahagia di bagian

November Summer

Setelah penantian lama, Hujan tiba lagi, namun tidak dengan kotaku. Aku melihatnya, ia berlarian jatuh ke bumi tiada henti namun di daratan bumi yang lain. Ada jiwa yang merasa sepi, kemana lagi hujanku? Apakah kau lupa denganku. Kau tau aku benci terik, yang membuatku pusing dan mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa bebas berjalan kesana-kemari. Yang kucari hanya bayangan, agar aku bisa berteduh darinya. Terik yang membuat kulitku menghitam, dan duniaku kini yang begitu kelam. Ternyata bukan mataku saja yang begitu bebal, langitku juga begitu. Sudah lama ia tak bisa menumpahkan segala airmata yang dikandungnya selama ini. Mungkin mataku telah mati rasa, atau kemarau panjang yang membuatku jengah bikin tak ada air mata lagi. Langit mungkin juga begitu, kau hanya berwarna biru, terlalu banyak beban di kantungmu. Sampai kapan berpura-pura cerah? Kalau hujanmu saja bisa membawa berkah? Ah sepertinya kamu belum sadar, bahwa semua orang sudah terlalu lama menunggumu datan

SURABAYA MENGGUGAT

Hari ini bergejolak lagi, luka lama yang belum terobati, segala kecamuk yang menyerang negeri ini. Nyatanya mereka jengah, dengan segala resah. Keburukan dan kebodohan terpampang nyata di depan mata kita, namun kita tidak bisa apa-apa. Hari ini semua terbantah, kami turun ke jalan, memberikan suara yang menantang! Kami bukan sapi perah, yang hanya bisa digiring dan dipapah. Kita adalah manusia yang menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan negeri ini. Negeri ini benar-benar sedang sakit, dan kami ingin memperjuangkan kelangsungan hidupnya. Kami bukan anak kemarin sore, yang hanya berdiam diri dan bersikap apatis. Kami menyuarakan kebenaran meskipun sering kali dijatuhkan. Kami memang buta perihal politik atau hukum yang ada, karena itu kami ingin dibimbing dan diberi motivasi bukan malah dicaci maki oleh para petinggi negeri. Dari sini tempat kami belajar demi Indonesia yang lebih benar. Kami berani bergerak, sebab ini adalah permulaan. Dari jalanan, kelak berganti j

Merasa

Merasa khawatir sampai tak bisa berfikir. Merasa lelah namun ia tak mau mengalah. Merasa bersalah dan membuat hati semakin resah. Merasa dimiliki namun hati merasa sendiri. Merasa benci namun di mencintai Merasa ingin lepas namun tak bisa terbebas Merasa ingin mencari namun ia mengikuti Merasa ingin menghilang namun selalu saja ia datang Merasa ingin bebas namun ia tak bisa membuatku bernafas Merasa ingin apa adanya namun hati tak berdaya Merasa ingin jadi orang jahat sedunia namun hati baik tak mengizinkannya Merasa ingin mencinta tapi ia malah mencintaiku Merasa ingin bahagia namun ia hanya menabur luka Merasa ingin tak melukai namun ia juga melukai tapi tak menyadari Merasa ingin mati namun ia hidup di setiap hari Merasa ingin pergi tapi ia selalu menghantui Merasa ingin berteriak namun hati baik ini tak mau berontak Merasa ingin sendiri selamanya, sendiri sepi- sendiri sepi - sendiri mati. Denpasar, 27-08-2019